Header Ads

Melihat Pengabdian MIS Al-Amin untuk Bangsa

Di hampir seluruh wilayah NKRI, siswa madrasah hampir dipastikan beragama Islam. Hanya beberapa wilayah yang mayoritas non-muslim ada sejumlah sekolah atau madrasah saja yang bersiswakan agama lain. Salah satu madrasah tersebut adalah Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) Al-Amin.

Bagi MI ini, keberadaan siswa non-muslim menjadi sejarah panjang pendidikan di daerah tersebut. MIS Al-Amin bermula dari Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Gereja Kristen Protestan Angkola (PKBM GKPA) Tangga Batu yang berdiri sejak 1991 di Dusun Tangga Batu, Desa Siuhom, Kecamatan Angkola Barat, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.

“Seiring meningkatnya kebutuhan masyarakat akan akses pendidikan, para tokoh  masyarakat seperti Makmur Tumanggor (74) memprakarsai berdirinya madrasah ini,” kata Imran Siregar dalam seminar hasil penelitian ‘Pengembangan Madrasah di Daerah Khusus’ yang digelar di Jakarta beberapa waktu lalu.

Imran Siregar, peneliti senior Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Balitbang Diklat Kemenag RI, dalam paparannya menyatakan pada Tahun Ajaran 1995/1996 PKBM GKPA dikembangkan menjadi MIS Al-Amin. “Seluruh aset PKBM GKPA menjadi modal awal sarana beroperasinya MIS dengan bangunan darurat di atas tanah wakaf seorang muslim bernama Mansur Barasa,” paparnya.

Menurut dia, proses evolusi PKBM GKPA ke MIS Al-Amin Tangga Batu menjadi fakta tak terbantahkan melemahnya sekat-sekat sosial masyarakat ketika dihadapkan dengan keterisoliran, ketertinggalan dan kesulitan masyarakat mengakses pendidikan. Ini merupakan bukti konkrit bahwa mereka diikat rasa kebersamaan untuk melakukan perubahan.

Dalam catatan Imran, 66 anak kini menjadi siswa MI Al-Amin. 54 orang (81.81 persen) beragama Kristen dan Katolik serta 12 orang (18.18 persen) beragama Islam yang tersebar di enam kelas. Jumlah guru sebanyak empat orang yaitu 3 orang S1 dan satu orang D.III, 3 wanita dan 1 pria seluruhnya beragama Islam.

Soal kurikulum, menurut dia tentu ada perbedaan dengan materi MI lainnya. Hal yang membedakan adalah, khusus siswa nonmuslim hanya diberikan materi Akidah Akhlak dan SKI. Untuk lebih menyiapkan peserta didik menghadapi UN, seluruh siswa kelas VI nonmuslim dititipkan di SD Negeri Adian Nauli. Sementara bagi siswa muslim dititipkan di MIN Panobasan.

Hal tersebut, kata Imran, dilakukan karena ruang belajar madrasah ini jauh dari kata ideal. Aktivitas belajar mengajar dilakukan di tiga ruang saja. Dua ruang belajar darurat dan satu ruang belajar permanen. “Itupun bantuan rehab total dari Kemenag tahun 2009 silam,” ungkapnya.

Terpencil

Menurut Imran Siregar, secara geografis letak MI Al-Amin terpencil sekali sehingga sulit dijangkau. Belum adanya akses jalan yang layak, lalu terpencil lantaran jauh dari dusun-dusun lainnya, kemudian terisolir karena berada di daerah perbukitan dan lembah membuat penderitaan para siswa kian menjadi-jadi.

“Lebih kurang 13 km dari desa Siuhom, 16 km dari kota kecamatan dan 42 km dari kota kabupaten. Jumlah penduduknya 428 jiwa  mayoritas non muslim, yaitu Kristen 251 jiwa (58.64 persen), dan Katolik 84 jiwa (19.62 persen) dan Islam 93 jiwa (21.72 persen),” kata dia.

Dusun ini, lanjut Imran, bermula dari kehadiran pendatang dari suku Dairi, Nias, dan batak Toba di Angkola Barat pada tahun 1980-an. Mereka membuka hutan alam yang belum terjamah masyarakat Angkola dengan menanam salak dan karet. Pekerjaan sehari-hari penduduk adalah petani salak dan karet dengan rata-rata penghasilan sekitar Rp300.000.- perminggu.

“Itu pun tergantung hasil panen dan harga pasar salak dan karet. Nah, untuk menambah penghasilan masyarakat juga beternak sejumlah binatang yang dijadikan santapan sehari-hari. Misalnya babi, kambing, ayam dan itik. Mereka juga memelihara kuda,” ujarnya.

Kondisi umum kehidupan keagamaan masyarakat di daerah ini cukup dinamis. Hal tersebut ditandai adanya empat rumah ibadah, yakni Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA), Gereja Katolik, Gereja Saksi Yehowa, serta Mesjid Tangga Batu.

Sementara itu, kehidupan sosial masyarakat dusun yang terpencil berdampak tak langsung pada sikap sosial masyarakatnya, mulai menikahkan anak di bawah umur, hingga praktek ritual gaib, bahkan ada istilah parrasun.

“Jika terjadi pernikahan beda agama, si wanita yang mengikuti agama calon suaminya. Pola hubungan pernikahan seperti ini sudah menjadi kesepakatan tak tertulis masyarakat tentang pola pernikahan lintas agama,” ujar Imran.

Pria bersuku Batak ini berharap, MIS Al-Amin ini patut diberdayakan pemerintah pusat maupun daerah. “Jika memungkinkan dapat didirikan MTs, seperti harapan para tokoh agama dalam FGD, agar anak kami tidak kos di kota setelah lulus MI,” pungkasnya. (sumber)

Tidak ada komentar